window.dataLayer = window.dataLayer || []; function gtag(){dataLayer.push(arguments);} gtag('js', new Date());gtag('config', 'G-BWME4274RY');
Oleh : Duta Agung Rohmansyah, M.H.
Disclaimer tulisan ini bertujuan untuk mengedukasi dan tidak bermaksud untuk mendiskreditkan pihak manapun.
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan berbasis asrama diman kiyai menjadi sentral figurnya santri dan kegiatan menjadi ruh kesehariannya serta masjid menjadi titik pusat yang menjiwai, pernahkah kita berfikir di luar sana, apa yang dilakukan siswa sepulang mereka sekolah? Jika memang mereka melakukan kegiatan yang bermanfaat berapakah prosentasenya dibandingkan dengan mereka yang melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat? Terutama dewasa ini dengan meluasnya pergaulan plural dikalangan siswa sering sekali terjadi ha-hal yang tidak diinginkan seperti tawuran antar pelajar, berpacaran, konsumsi minuman keras dan obat-obat terlarang.
Mudahnya seseorang mengakses informasi melalui gawai genggam yang hampir saat ini dimiliki oleh kebanyakan anak dibawah umur membuat mereka tahu akan informasi yang belum selayaknya mereka ketahui, meskipun pemerintah telah berupaya menyaring informasi yang beredar melalui lembaga sensor, namun peran orang tua sebagai garda terdepan sekaligus garda terakhir dalam proteksi anak dari pengaruh buruk atas mudahnya akses informasi kembali menjadi sorotan.
Longgarnya peran orang tua dalam membentengi anak dari pengaruh buruk didasari oleh banyak faktor, salah satu faktor utamanya adalah kesibukan orang tua dalam bekerja sehingga membuat anak kurang mendapatkan perhatian, bayangkan saja seorang ibu yang berprofesi sebagai guru di sekolah negeri misalnya, sepulang kerja ia masih tetap harus dibebani dengan banyak pekerjaan administratif yang tidak sempat dikerjakan di kantor, sedangkan anaknya yang masih berusia belasan tahun berharap orang tuanya bisa menemaninya belajar, hal ini sangat berdampak pada sikologis sang anak, kurangnya perhatian kepada anak akan membuatnya menjadi pribadi yang tertutup tidak berani bercerita karena sang anak akan beranggapan bahwa apa yang akan ia ceritakan tidak terlalu penting bagi orang tuanya.
Bermula dari rasa tertutup itulah akhirnya sang anak akan mencari perhatian di tempat lain, mereka mulai mencari perhatian pada lawan jenis, mencari pelampiasan pada game online, melampiaskan bersama teman sebaya mereka dengan mengkonsumsi hal-hal yang mereka anggap jika mengkonsumsinya akan membuat mereka keren, contoh kecilnya rokok dan bisa lebih buruk lagi. Apakah anda ingin anak yang anda rawat dari kecil terlihat didepan anda dengan percaya diri mengapit sebatang tembakau di kedua jarinya? Tentu tidak.
Sementara itu lembaga pendidikan berbasis pesantren kerap kali dijadikan sebagai alternatif para orang tua menyekolahkan anaknya, mereka beranggapan bahwa di pesantren anak mereka akan terbebas dari dampak buruk diatas, apakah demikian? Tentu tidak. Lembaga pendidikan pondok pesantren tidak pernah menjamin santrinya akan menjadi sholeh, pesantren tidak menjamin santrinya menjadi pintar, pesantren tidak menjamin santrinya terbebas dari dampak buruk mudahnya akses informasi. Pesantren hanya menjamin kegiatan santri 24 jam adalah kegiatan yang mengarahkan mereka menjadi pribadi yang sholeh, pintar dan berakhlak mulia. Lantas “jadi apa” santri tersebut setelah lulus dari pesantren semuanya tergantung pada seberapa kuat tawakkal mereka kepada Allah SWT.
Kegiatan di pondok pesantren selama 24 jam akan melatih santri menjadi pribadi yang disiplin, penugasan dipondok pesantren akan menjadikan santri pribadi yang bertanggung jawab, serta rasa takdzim santri pada kiyai dan kebersamaan mereka di pondok pesantren akan membangun karakter “ngajeni” atau tahu aji diri. Dari segi akademis santri belajar Al-Qur’an tidak hanya secara bacaannya saja, seluk beluk serta ilmu yang menyokong pemahaman al-qur’an seperti hadits, ushul fiqh, nahwu dan shorf juga dipelajari. Kesadaran pesantren dalam perkembangan zaman juga mendorong transformasi pendidikan pesantren yang muali mengintegrasikan pendidikan agama dengan ilmu multidisipliner, menjadikan santri semakin siap untuk mengahadapi tantangan global yang akan datang.
Jika dilihat secara historis, awal mula berdirinya pesantren adalah ketika ada beberapa pemuda yang ingin menimba ilmu pada seorang kiyai, dan kiyai tersebut menerima para pemuda dengan tangan lebar tanpa mengaharap imbalan sepeser pun, para pemuda tersebut kemudian disebut sebagai “cantrik” dalam bahasa jawa yang berarti orang yang mengikuti gurunya atau yang umum saat ini disebut sebagai santri.
Bersama Kiyai para santri diajarkan ilmu agama, mengelola ladang, dan filosofi kehidupan, ibarat anak sendiri. Hari berganti bulan ke tenaran kiyai yang menerima santrinya mulai menyebar “getok tular” mulai lah berdatangan lebih banyak “santri” yang ingin menimba ilmu pada kiyai, sampai-sampai kediaman kiyai sudah tidak muat untuk menampung para santri yang ingin belajar. Dengan kesadaran dan ketanggapan hati, santri senior mulai berkoordinasi dengan santri lainnya untuk tidak merepotkan “abah yai” para santri mulai membangun pondok-pondok kecil di sekitar kediaman kiyai, para santri mulai berinisiatif menanam padi untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan belajar mengelola ekonomi sampai terbangun surau untuk mereka beribadah bersama. Tak lama komunitas masyarakat yang membangun peradabanya di sekitar kediaman kiyai itu oleh warga disebut dengan istilah “Pondok Pesantren”.
Dari segi historis pondok pesantren memiliki nilai kedalaman akidah serta budaya yang sangat kental, bagaimana tidak? Keikhlasan dari Kiyai dan santri yang memiliki makna berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Segala perbuatan dilakukan dengan niat semata-mata untuk ibadah, lillah. Kyai ikhlas medidik dan para pembantu kyai ikhlas dalam membantu menjalankan proses pendidikan serta para santri yang ikhlas dididik. Jiwa ini menciptakan suasana kehidupan pondok yang harmonis antara kyai yang disegani dan santri yang taat, cinta dan penuh hormat. Jiwa ini menjadikan santri senantiasa siap berjuang di jalan Allah, di manapun dan kapanpun.
Selain nilai keikhlasan yang ditunjukkan oleh kiyai dan santri pada pondok pesantren, seringkali kita dapati bahwa santri selalu bersikap sederhana, sederhana penampilannya bahkan hatinya, konsep kesederhanaan yang diajarkan di pondok pesantren adalah konsep “Sederhana tidak berarti pasif atau nerimo, tidak juga berarti miskin dan melarat. Justru dalam jiwa kesederhanan itu terdapat nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup.” Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju dan pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan.
Berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri yang nampak dari sejarah yang telah disebutkan diatas merupakan senjata ampuh yang dibekalkan pesantren kepada para santrinya. Berdikari tidak saja berarti bahwa santri sanggup belajar dan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain. Inilah “Zelp berdruiping system” (sama-sama memberikan iuran dan sama-sama memakai). Dalam pada itu, Pondok tidaklah bersifat kaku, sehingga menolak orang-orang yang hendak membantu. Semua pekerjaan yang ada di dalam pondok dikerjakan oleh kyai dan para santrinya sendiri, tidak ada pegawai di dalam pondok.
Tentu saja nilai selanjutnya adalah ukhuwan isamiyah yang muncul dari kehidupan santri yang saling gotong royong, saling membantu sesama warga pondok pesantren dengan dasar aqidah Islamiyah. Kehidupan di pondok pesantren diliputi suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwwah Islamiah. Tidak ada dinding yang dapat memisahkan antara mereka. Ukhuwah ini bukan saja selama mereka di Pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan ummat dalam masyarakat setelah mereka terjun di masyarakat.
Demikian jawaban yang cocok untuk menjawab mengapa harus pondok pesantren? Selebihnya adalah keputusan serta kesanggupan diri kita sebagai individu untuk menjaga titipan Allah SWT berupa karunia luar biasa berwujud anak. Semoga kita semua senantiasa dilimpahi rahmat serta hidayah Allah dan dimudahkan dalam segala urusan. Wallahul muwafiq ila aqwami thoriq
Tinggalkan Komentar